Menyambung tulisan spiritual retreat di tahun 2012, akhirnya saya berkesempatan untuk berkumpul lagi bersama teman-teman sejiwa dan melakukan perjalanan ke dalam hati di tahun 2017 ini.. selama saya lama merantau ke luar negeri (sebelum 2012) dan saat saya merintis usaha (2012 hingga kini), rekan-rekan prana sering mengadakan perjalanan tahunan, ke tempat-tempat yg masih asri, atau tempat-tempat yg punya energi tinggi untuk memperdalam pengenalan terhadap diri sendiri dan kepada Sang Ilahi..
Tahun-tahun sebelumnya rekan-rekan prana melakukan perjalanan tempat-tempat tertentu di tanah Jawa , seperti umbul umprit, alas purwo, dan lain sebagainya. Namun kondisi dan situasi menyebabkan saya tidak dapat ikut serta dalam kegiatan tersebut. Baru pada akhir tahun 2016 dan di tahun 2017 ini saya berkomitmen dalam hati untuk turut serta bersama lagi, melakukan perjalanan ke dalam. Berikut ini cuplikan dari catatan kecil akhir 2016..
Flashback From a 2016 Note — “Setelah kembali ke tanah air, saya mengisi bulan demi bulan untuk memulai proyek ‘bisikan di pagi hari’ yang kelak menjadi usaha pertama saya hingga tulisan ini dituangkan.. Saat itu adalah transisi dimana saya harus kembali menyelami dunia manusia dengan segala interaksi sosialnya, setelah lama berkutat dengan ilmu alam dan batin yang mendalam.. sebelum memulai proyek usaha pertama saya, sejenak sempat saya mengikuti ajakan olah batin bersama rekan-rekan olahraga pernafasan / Prana selama beberapa hari ke Jawa Tengah di awal tahun 2012.. itu adalah kali terakhir saya menyempatkan diri secara khusus untuk pergi sendiri dan menerawang ke dalam diri sebelum terjun ke ilmu bumi dan medan tempur usaha..”
Singkat cerita, selepas tahun 2012 saya harus benar-benar memakai topi sebagai seorang entrepreneur dan fokus mengamati serta belajar bagaimana caranya sebuah entitas usaha bisa dirintis, dan bisa terus berkembang.. masa-masa ini adalah masa penyatuan dan masa penerapan dari semua konsep-konsep abstrak batin yang telah dipahami dengan mendalam, masa penerapan itu terhitung sejak awal tahun 2012 dan seterusnya hingga saat ini, dan berbagai kisahnya sempat saya tuliskan dalam beberapa note juga..
Dengan kata lain, periode 2012-2016 ini saya melaksanakan peran saya sebagai “manusia bumi” dengan segala urusan sosial dan keduniawian, dengan penerapan ilmu-ilmu sosial seperti manajemen, marketing, politik, kewirausahaan, keuangan, dsb.. dan sementara itu pendalaman “ilmu langit” sedikit saya pause.. Namun ternyata arus “ilmu bumi” dan segala dinamika intensifnya ini cukup kuat dan mempengaruhi inner condition saya, dan saya menyadarinya setahun belakangan ini. Ada trade-off yang begitu kuat antara peningkatan kesuksesan duniawi, dengan penurunan keadaan serta pendalaman spiritual yang ilahi. Semua fase hidup dan pelajaran hidup ini saya terima sebagai bekal lanjut untuk kehidupan saya nanti dan lebih mengenal diri sendiri.
Sekilas Napas Tilas
Baik, lanjut cerita, kegiatan Napak Tilas di Jawa Tengah ini menjadi kegiatan olah batin di tahun 2017 oleh teman-teman KBK se-Indonesia. Rombongan terbagi menjadi dua mobil, satu mobil berangkat dari arah Barat (Jakarta) dan satu mobil dari arah Timur (Kediri) dan akan bertemu di tengah (pinggiran kota Solo). Napak Tilas berarti menapaki / menyusuri kembali jalan yang pernah ditempuh seseorang. Boleh jadi untuk mengenang perjuangannya, ikut merasakan penderitaannya, mencontoh keteladannya, atau bahkan menghidupkan kembali semangatnya yang dulu pernah ada. Selama kegiatan ini, tempat-tempat yang saya kunjungi adalah sebagai berikut :
- Umbul Pengging
- Makam Ki Ageng Pengging Handayaningrat
- Makam Kyai Ageng Kebo Kenongo
- Makam raja-raja mataram
- Puro Mangkunegaran
- Astana Mangadeg
- Astana Giri Bangun
- Pura Mandira Seta dan Kasunanan Solo (Ekstra)
Mengapa Jawa Tengah ? Pertanyaan ini juga berada di benak saya. Sebagai orang yang besar di luar Jawa Tengah dan sekitar Jawa Timur, maka kita tidak bisa melihat dengan mudah apa korelasi Jawa Tengah ini terhadap sejarah dan perkembangan negara Indonesia di masa lampau. Namun, Napak Tilas ini menghadirkan sudut pandang baru dalam diri saya dalam melihat kebesaran serta kompleksnya Nusantara ini. Di Jawa Tengah inilah simpul terbesar sejarah Nusantara ini, yang menjadikan Indonesia sebagai kerajaan nusantara terbesar di bumi selatan pada masanya. Lalu apa kaitannya sejarah dengan olah batin napak tilas ? Pada jaman dahulu, leluhur kita sudah terlebih dahulu mengenali ilmu keilahian yang tidak terkungkung oleh dogma-dogma agama seperti sekarang ini, misalnya banyak penganut agama Samawi (Kristiani, dan Islam) dan juga agama-agama lainnya yang memahami agamanya hanya bersifat hafalan atau ritual-ritual yang tidak merupakan esensi yang diajarkan oleh figur Ilahinya. Para leluhur yang menjadi orang-orang penting di jamannya tidak hanya memegang tampuk kekuasaaan duniawi, namun juga mencontohkan ajaran ilahi yang bisa dipelajari dan diteladani oleh para generasi penerusnya. Dalam napak tilas ini, yang bisa melakukan kontak batin dengan para leluhur adalah bapak pembina KBK, dan dimasing-masing tempat ada pesan tersendiri dari leluhur bagi para pendatang yang berkunjung. Saya sendiri memaknai Napak Tilas ini sebagai suatu masa dimana situasi dan kondisi yang tercipta menjadi kondusif bagi diri sendiri untuk melakukan kontemplasi, perenungan, pembelajaran mengenal diri sendiri dan kalibrasi terhadap jalan keilahian.
Untuk itu, saya menyempatkan diri untuk hadir di kota Solo, 1 hari sebelum rombongan tiba, untuk berkeliling kota Solo dan merasakan vibrasi kotanya. Berjalan menyusuri dan keliling kota, saya merasakan kota Solo begitu kuat menghadirkan “energi kebersahajaan”, dan energi itu dapat terlihat begitu khas pada presiden RI saat ini Joko Widodo / Jokowi, dan setelah menyelesaikan Napak Tilas ini saya dapat memahami kenapa slogan kota ini adalah “the Spirit of Java”. Solo adalah pusat kebudayaan Jawa yang sebenarnya, peradaban Jawa dimulai dari kota ini, dengan berdirinya kerajaan mataram kuno di abad ke-8, kemudian dilanjutkan mencapai puncaknya di jaman Majapahit di abad ke-13, dan seterusnya menjadi negara nusantara yang kita kenal sekarang ini.
Setelah bermalam 1 hari di sekitaran airport Solo, saya bergabung dengan rombongan dari Timur dan bersama-sama kami bertemu dengan rombongan dari Barat di rumah makan menuju lokasi pertama kami, Umbul Pengging.
- Umbul Pengging (Mata Air Pengging)
Sejarah Singkat mengenai Umbul Pengging –> Pengging adalah nama kuno untuk suatu wilayah yang sekarang terletak di antara Solo dan Yogya (kira-kira mencakup wilayah Boyolali dan Klaten serta mungkin Salatiga). Pusatnya sekarang diperkirakan terletak di Banyudono, Boyolali. Nama Pengging disebut-sebut dalam legenda Rara Jonggrang tentang pembangunan kompleks Candi Prambanan. Selanjutnya, dalam sejumlah babad yang menerangkan penyebaran agama Islam di selatan Jawa wilayah ini kembali disebut-sebut, dengan tokohnya Ki Ageng Pengging. Tokoh ini dikenal sebagai pemberontak di wilayah Kesultanan Demak. Kalangan sejarah di Jawa banyak yang menganggap bahwa Pengging adalah cikal-bakal Kerajaan Pajang, kerajaan yang mengambil alih kekuasaan di Jawa setelah Kesultanan Demak runtuh. Semenjak berkembangnya Kesultanan Mataram dan masa-masa selanjutnya, wilayah Pengging kehilangan kepentingannya dan pusat pemerintahannya berangsur-angsur menjadi tempat untuk pelaksanaan ritual bagi keluarga penerus Mataram. Pengelolaan situs sejarah ini pada masa kolonial dilakukan oleh pihak Kasunanan Surakarta dan sekarang tanggung jawab berada di tangan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Setiba di lokasi umbul pengging, kami berbincang-bincang dengan juru kunci setempat dan menyampaikan maksud kunjungan kami. Oleh juru kunci kami diantarkan ke sebuah kolam yang berisi air dari mata air jernih. Disanalah biasanya tradisi berendam atau kungkum sering dilakukan, biasanya menjelang tengah malam dan tanpa busana. Pembina mengatakan bahwa hal ini anggaplah untuk membersihkan diri sendiri sebelum berkunjung ke tempat-tempat lainnya. Mengikuti petunjuk yang diberikan, dengan bergantian kami melepas busana dan berendam dalam kolam jernih tersebut. Ketika tiba giliran saya, saya mencoba masuk ke dalam kolam mata air tersebut dengan perlahan-lahan. Ketika saya memasukkan tubuh saya hingga sebatas leher, ada perasaan bergetar dan berat di sekujur tubuh hingga ke kepala, bisa jadi karena air dan udara sekitar yang dingin, atau ada faktor lainnya yang tidak saya ketahui. Selepas kungkum, kami berangkat menuju tempat berikutnya.
2. Makam Ki Ageng Pengging Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh)
Pangeran Handayaningrat adalah salah satu tokoh besar di tanah Jawa, beliau adalah putera menantu dari raja terakhir raja majapahit yaitu Brawijaya V (1478M) dan juga kakek dari Jaka Tingkir yang dikenal dengan nama Hadiwajaya, pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Pajang (1549M). Beliau lah yang menyebarkan ajaran Sastra Jendra Hayuningrat atau Sastra Cetho di tanah Jawa. Sastra Jendra Hayuningrat adalah ajaran suci berasal dari Sang Pencipta yang merupakan rahasia alam semesta, yang tidak bisa diketahui oleh sembarang makhluk dan yang dapat menyelamatkan dunia semesta yang terdapat dalam kisah pewayangan. Berasal dari kata : Sastra = kitab, Jendra = Milik Yang Kuasa, Hayuningrat = keselamatan dunia semesta.
Dari sudut pandang kebatinan Jawa, maka makna dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini di tuangkan dalam berbagai falsafah. Di antaranya:
- 1. Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah (ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan atau berasal dari Tuhan Yang Maha Esa).
- 2. Pangruwating barang sakalir (dapat membebaskan dan menyelamatkan segala sesuatu).
- 3. Kawruh tan wonten malih (tiada ilmu pengetahuan lain lagi yang dapat dicapai oleh manusia).
- 4. Pungkas-pungkasaning kawruh (ujung dari segala ilmu pengetahuan atau setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi).
- 5. Sastradi (ilmu yang luhur).
Di makam ini, pembina berkomunikasi dengan pangeran Handayaningrat dan menyampaikan pesan-pesan penting yang harus disampaikan untuk masing-masing peserta rombongan, dari pesan yang bersifat ilahi, hingga ke pesan yang masih terlihat seperti duniawi namun penting. Dalam hati saya ingin berkomunikasi dengan “guru sejati” dalam diri, namun ketika itu pesan yang saya terima ternyata adalah perihal jodoh dan orang tua saya. Ketika mendengar pesan tersebut saya cukup terkejut dan bertanya, kenapa topik ini lagi dan lagi, seakan-akan memang ini penting sekali untuk dilakukan dengan baik.
Disinilah saya dapat pemahaman intuitif dan sedikit tersadar bahwa tubuh fisik ini dan jiwa di kehidupan ini saling terkait satu sama lain, dan hubungan itu terutama sangat kuat di keluarga inti. Saya sudah lama mendengar cerita saling keterkaitan ini dari keluarga pemangku adat di Bali, namun saya tidak terlalu paham mengapa hak dan kewajiban salah satu individu dapat mempengaruhi nasib individu lain yang merupakan keluarganya sendiri. Sekarang saya menyadari bahwa saya mendapatkan tubuh fisik ini dari sel fisik kedua orang tua, dan juga secara langsung energi saya berkaitan langsung dengan orang tua saya, begitu juga karma orang tua berkaitan langsung dengan karma kehidupan saya. Sebelumnya saya telah melihat bagaimana saya memainkan peran saya sebagai cermin karma terhadap orang tua saya, dan kini saya bisa melihat bagaimana karma mereka bertautan dengan saya dan apa peran yang saya bisa lakukan untuk menyelesaikan karma ini, yang kebetulan adalah perihal pasangan hidup. Dulu saya memiliki pemahaman bahwa masing-masing individu memiliki jalan hidupnya masing-masing yang bebas dan individualis, dan ternyata sekarang saya perlu proses untuk sadar bahwa ada sebab kenapa saya terlahir di keluarga tertentu ini, dan ada peran unik yang memang menjadi tugas bagi masing-masing jiwa yang berada dalam keluarga masing-masing. Dan dalam setiap perjalanan hidup, ada tahap-tahap tertentu yang harus dilalui sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Dalam hal ini, tampaknya saya harus menyelesaikan masalah ini dahulu, sebelum betul-betul bisa melanjutkan perjalanan kebatinan..
3. Makam Kyai Ageng Kebo Kenongo
Kyai Ageng Kebo Kenongo atau dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging adalah putra dari Pangeran Handayaningrat, dan juga murid spiritual dari Syekh Siti Jenar yang kontroversial di tanah Jawa kuno. Dalam silsilah Kerajaan Majapahit, Kebo Kenongo adalah cucu dari Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit. Makam Ki Ageng Kebo Kenongo Pengging berada di sebuah kompleks pemakaman yang cukup luas, dengan sebuah masjid tak begitu besar berdiri di sebelah kanan gerbang masuk ke dalam kompleks pemakaman. Pada bagian atas gerbang masuk yang berbentuk gapura itu tertulis “Makam Ki Ageng Kebo Kenongo” dalam huruf Latin. Setidaknya ada dua kisah menarik tentang Kebo Kenongo, yang pertama adalah dialog sufistiknya dengan Syekh Siti Jenar, yang kedua adalah dialognya dengan Sunan Kudus yang menjadi utusan Sultan Demak. Bagaimana dialog itu bisa tercatat, dan apakah dialog itu memang benar adanya tidaklah mengurangi bobot isi dialognya.
Salah satu bagian cuplikan dari dialog beliau dengan Syekh Siti Jenar adalah sebagai berikut :
""Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling kawula gusti’.”
Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu berdiri.
“Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila di sampingnya.
“Bukankah Andika telah mencoba menuju maunggaling kawula gusti?”
“Benar, namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.” Terang Kebo Kenongo.
“Tujuan Andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum.
“Bukankah shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya.
“Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir.
“Apakah harus berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian.
“Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek.
“Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya.
“Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?”
“Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat.
“Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya.
“Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Lantas?”
“Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut .
“Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikan nya.” tambahnya.
“Baiklah, Syekh.”
Setibanya di depan makam Kyai Ageng Kebo Kenongo, pembina menyampaikan pesan yang diterima dalam bahasa Jawa yang tidak saya pahami, terkesan seperti Jawa Kuno / Mataram, dan namun saya vibrasi yang saya rasakan adalah hikmat dan penuh dengan wejangan hidup. Selepas pesan tersebut, kami pun pamit dan bergegas ke tempat selanjutnya.
4. Makam raja-raja Mataram (Panembahan Senopati)
Dari sekitaran boyolali, rombongan berangkat menuju Kotagede Jogjayakarta. Kompleks makam pendiri kerajaan Mataram ini memiliki keunikan tersediri, yaitu berada sekitar 100 meter dari pasar Kotagede yang merupakan pusat keramaian, dikelilingi tembok besar dan kokoh. Pintu Gapura memasuki kompleks makam ini masih memiliki ciri arsitektur budaya Hindu bernama Gapura paduraksa dengan kusen berukir di sebelah selatan Masjid Besar Mataram yang menuju ke dalam kompleks Makam Raja-Raja Mataram. Saat rombongan tiba, waktu itu sudah sekitar pukul 03.30 pagi, dan di dekat pintu masuk tersebut baru selesai acara pesta wayang yang lengkap dengan gamelan dan sinden-sinden menyanyi dalam bahasa Jawa. Suasana ini sangat unik bagi saya, dan sekali lagi menegaskan selamat datang di tanah Jawa, dan inilah Bhinekka Tunggal Ika, kita bisa jalan beberapa ratus km dan sudah menemui keberagaman budaya yang berbeda. Memasuki kompleks ini, saya terkagum-kagum terhadap peninggalan para leluhur nusantara, bahwa nuansa kemegahan dan kerapihan dan kearifan leluhur itu terlihat jelas pada bangunan ini, dan mengapa bangunan ini tidak pernah diceritakan dengan penting pada buku sejarah yang dipelajari oleh anak-anak Indonesia, termasuk saya pun baru tahu ada bangunan dan sejarah seperti ini !
Karena ada aturan yang ketat, makam baru bisa dimasuki pada besok pagi atau siang, sehingga rombongan hanya berjalan-jalan disekitar kompleks dan meninggalkan lokasi untuk beristirahat di Jogja, di “Rumah Bahagia” jogja kediaman pak SA yang juga pelaku penyembuh prana. Sesampainya di Rumah Bahagia, saya melihat ada poster-poster menarik, termasuk tentang aliran energi meredian pada tubuh manusia, poster tentang sang maha guru yang mencapai usia 110 tahun, serta yang paling bikin saya tertegun adalah poster kuno berbahasa Cina mengenai tubuh manusia saat sedang bermeditasi dilihat dari samping ! Saat itu saya yakin ini bukan poster biasa, dan saya meminta kepada pak SA untuk mengajari saya tentang ajaran dalam poster ini. Beliau mengiyakan dan kami akan latihan besok malam selepas kunjungan ke kompleks makam raja-raja Mataram. Cerita mengenai latihan ini saya jabarkan di akhir tulisan.
Selepas beristirahat di Rumah Bahagia, rombongan pun berangkat kembali ke Makam raja-raja Mataram. Di lokasi ini seluruh pengunjung yang hendak memasuki makam diharuskan untuk memakai pakaian adat Jawa. Di dalam makam tersebut, tujuan rombongan adalah kepada makam panembahan senopati. Panembahan Senopati menjadi raja pertama di Kesultanan Mataram atau Kerajaan Mataram Islam pada 1587-1601, setelah kerajaan Pajang runtuh. Menurut naskah-naskah babad, ayah Senopati adalah keturunan Brawijaya (raja terakhir Majapahit) dan Ibunya adalah keturunan Sunan Giri (anggota Walisongo). Panembahan Senopati dikisahkan dalam babad Tanah Jawa memiliki kebiasaan yang hebat dalam olah rasa, meditasi dan bertapa. Dan dikisahkan bahwa telah terjadi perkawinan Panembahan Senopati dengan “Kanjeng Ratu Kidul”, dan diyakini oleh masyarakat setempat bahwa hubungi ini terus dipertahankan oleh para Raja Mataram mulai Sri Sultan Hamengko Buwono I hingga Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dari sinilah kita bisa melihat cikal bakal sejarah kekeratonan yang ada di Jawa Tengah.
Di sekitar makam panembahan Senopati, selepas mendoakan beliau kepada Sang Ilahi, pembina kembali menyampaikan pesan yang diterima dari panembahan Senopati untuk masing-masing individu rombongan. Rekan-rekan menerima pesan ilahi dan pesan “manusia” yang disampaikan untuk masing-masing individu, ada yang tentang rencana ilahi, ada yang tentang keluarga, pekerjaan, dsb. Kali ini saya berpasrah hati, tidak berpikir sesuatu yang spesifik namun berserah diri untuk hal yang terbaik saja. Pesan yang disampaikan kepada saya ternyata adalah pesan yang berulang sejak tahun 2008 silam dan selalu unik hanya untuk saya pribadi, sekalipun diantara banyak orang. Pesan tersebut pertama kali saya dengar 9 tahun silam di kota Oita Jepang dan disampaikan oleh suara batin ditengah kesendirian, terulang lagi suatu saat saya pernah menghadiri pembaptisan di gereja dan disampaikan secara pribadi oleh sang pendeta, dan kali ini disampaikan di kompleks makam raja-raja Mataram oleh pembina. Inti dari pesan tersebut adalah : Semua yang ada itu hanya dititipkan saja dan bukan milik kita. Di tahun 2008 silam pesan tersebut adalah : “Semua yang ada di dunia ini hanya dititipkan kepadamu saja.. itu bukanlah milikmu.. itu hanyalah titipan padamu.. apapun itu, keluarga, teman dekat, kekasih, kenalan, harta, dan lain, semua itu hanya dititipkan kepadamu untuk sementara saja..”
Di tempat ini pesan kepada saya ada 4 hal yang dapat saya ingat, dari yang pertama:
1) bahwa segala kekayaan yang saya peroleh adalah bukan kepunyaan saya pribadi namun milik Sang Ilahi;
2) bahwa selama saya melakukan perhitungan yang berdasarkan perhitungan duniawi, maka perhitungan tersebut tidak akan akurat dan benar. Perhitungan duniawi berbeda dengan perhitungan ilahi;
3) bahwa saya tidak akan kekurangan dari sisi rezeki dan pergunakanlah rezeki ini untuk memahami kebenaran ilahi;
4) bahwa saya diminta untuk membuka hati dan seiring waktu saya akan diberikan pemahaman untuk benar-benar memahami kebenaran ilahi dari pesan yang pertama, kedua, dan ketiga tersebut..
Selesai berkunjung ke makam ini, kami sempat berkeliling sejenak di sekitar kompleks makam. Betapa saya kagum akan budaya leluhur nusantara ini dan kadang berandai-andai bagaimana jadinya nusantara ini apabila kerajaan ini terus berkembang tanpa dikuasai oleh belanda, dst. Di sekitar kompleks makam saat itu juga sedang ada murid-murid wanita yang sedang berpakaian adat dan ingin mengunjungi makam, hal ini menjadi pemandangan yang sangat menarik.
5. Puro Mangkunegaran
Dari kotagede, rombongan kembali mengunjungi kota Solo dengan tujuan Puro Mangkunegaran. Dalam puro mangkunegaraan ini terdapat museum yang untuk memasukinya harus bersama pemandu abdi dalam, dan tidak boleh mengambil foto atau memotret. Puro Mangkunegaraan adalah istana resmi Kadipaten Praja Mangkunegaran dan tempat kediaman para penguasanya (Sampéyan Ingkang Jumeneng). Pura Mangkunegaran dibangun oleh Mangkunegara I (Raden Mas Said) atau Pangeran Samber Nyawa pada tahun 1757 dengan mengikuti model keraton setelah ditandatangani bersejarah Perjanjian Salatiga yang kembali memecah wilayah Mataram Islam di Surakarta (setelah sebelumnya juga ada Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Mataram Islam menjadi Yogyakarta dan Surakarta). Perjanjian Salatiga adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram.
Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom yang merupakan warna khas keluarga Mangkunegaran. Hiasan langit-langit pendopo yang berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa dan di langit-langit ini tergantung deretan lampu gantung antik. Di bagian langit-langit pendopo Pura Mangkunegaran terbentang lukisan Batik Kumudowati. Artinya, kesaktian pada diri yang melekat pada seorang. Lukisan itu dilukis tahun 1937 oleh pelukis Istana, Raden Ngabehi Terdapat delapan kotak dimana bagian tengahnya masing-masing memiliki warna dan arti yang berbeda. Kuning bermaksud mencegah rasa kantuk, biru selalu untung dari bencana, hitam mencegah rasa lapar, hijau mencegah stres dan frustasi, putih mencegah pikiran seks birahi tidak pada tempatnya, orange mencegah perasaan takut, merah mencegah kejahatan, dan ungu mencegah pikiran kotor atau jahat.
Di dalam museum puro mangkunegaraan, selain berisi tempat untuk bersemedi, juga berisi koleksi barang-barang sejarah terkait dengan kerajaan hindu, dan kekeratonan di Indonesia. Ada beberapa meja dan almari kaca di sana yang berisikan pedang dari berbagai dinasti, akik, lencana, bambu runcing, senjata api, dan berbagai koleksi yang lain. Kemudian di sekitar dinding museum terdapat potret raja-raja yang pernah berkuasa, beserta permaisuri. Koleksi yang paling terlihat menonjol adalah krobongan. Semacam tempat tidur, tetapi fungsinya sebagai tempat untuk menghormati leluhur Jawa, tempat meletakkan sesaji persembahan untuk Dewi Sri / Dewi Padi.
Kunjungan kali ini lebih ke arah kunjungan sejarah, dan disini saya bisa melihat begitu besarnya penghormatan keluarga kerajaan terhadap Dewi Sri dan segala hal lain yang bersifat tidak kasat mata. Dalam kunjungan pertama ke Solo sebelum Napak Tilas dimulai, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak yang sudah sepuh dan menyampaikan kepada saya, “bagi orang luar atau turis luar, cerita keanehan di tanah Jawa mungkin hanya dianggap cerita. Tapi bagi kami hal itu benar terjadi, bukan cerita.”
6. Astana Mangadeg (makam raja-raja Mangkunegaran)
Astana Mangadeg adalah tempat makam bagi raja-raja Mangkunageran dan kerabat dekat (dalem) praja mangkunegaraan, mulai dari Mangkunegara I hingga III. Selain itu di dalam kompleks ini juga dimakamkan sejumlah kerabat dekat dan para pembantu perjuangan dalam peperangan melawan Kesultanan Mataram dan VOC hingga berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Salatiga (1758). Makam Astana Mangadeg berada di puncak Bukit Mangadeg, berhimpitan dengan Makam Astana Giri Bangun, tempat mendiang Ibu Tien Soeharto dan Mantan Presiden RI Pak Soeharto dimakamkan. Komplek pemakaman ini berada di puncak bukit kecil (bernama Bukit Mangadeg) di kaki Gunung Lawu, perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tempat ini sendiri sebelumnya adalah tempat Mangkunagara I bersemedi pada masa perjuangannya (sebelum menjadi raja ia bernama R.M. Said).
Dari kilas sejarah, sewaktu muda R.M. Said mendapat petunjuk dari dua orang petapa untuk berdiam diri di Gunung Mangadeg untuk bersamadi dan memohon petunjuk dari Sang Pencipta dalam pengabdiannya pada Bumi Pertiwi. Selama hidupnya, R.M. Said telah berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan R.M. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan R.M. Said melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Dibukit Mangadeg inilah selain bersamadi, beliau juga merumuskan semacam doktrin perjuangan yang disebut Tri Darma :
1. Rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki)
2. Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan)
3. Mulat sarira hangrasa wani (berani bermawas diri)
Menapaki tangga-tangga berliku di Astana Mangadeg ini seolah-olah kembali ke beberapa ratus tahun silam, saya sendiri tidak pernah tahu dan tidak meyangka bahwa kita ada warisan sejarah seperti ini. Setapak demi setapak, berjalan melewati gapura-gapura bernuansa kerajaan kuno hindu, sungguh terasa kebesaran dan semangat para leluhur Nusantara di bukit yang asri ini.
Setelah berbincang-bincang dengan juru kunci setempat, rombongan tiba di depan makam Pangeran SamberNyowo. Rombongan dengan khidmat duduk bersama, seraya mendoakan kedamaian dan ketenangan beliau kepada Sang Pencipta, dan memohon untuk dapat mempelajari keteladaan dan semangat perjuangan Pangeran SamberNyowo untuk kehidupan kami masing-masing. Setelah sejenak hening, pembina kembali menyampaikan pesan dan petuah yang diterima dari Sang Pangeran untuk seluruh peserta rombongan dalam bahasa Jawa kuno yang tidak saya pahami, namun terasa energinya.
7. Astana Giri Bangun
Tepat dibawah Astana Mangadeg, terdapat Astana Giri Bangun dimana menjadi tempat dimakamkannya tubuh fisik keluarga besar Presiden RI Soeharto. Pemilihan posisi berada di bawah bukit Mangadeg itu bukan tanpa alasan, yakni untuk tetap menghormati para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto adalah keturunan Mangkunegara III.
Astana Giri Bangun ini kerap menjadi destinasi wisata dan ziarah, baik oleh para pengunjung domestik maupun mancanegara. Salah satunya mantan menantu Soeharto, Prabowo Subiantodan salah satu kunjungannya adalah ketika masih bertarung dalam Pemilu Presiden 2014 sebagai calon presiden nomor urut 1. Sejarah yang sangat menarik bukan ?
Berbeda dengan Astana Mangadeg, Astana Giri Bangun ini dibangun dengan sangat megah, lantainya dilapisi dengan marmer dan seisi bangunan makam dihiasi dengan ukiran kayu yang megah dan besar. Namun energi yang terasa lebih kuat di Astana Mangadeg dibandingkan Astana Giri Bangun.
Rombongan pun kembali dengan khidmat mendoakan Sang mantan presiden dan ibu negara kepada Sang Pencipta.
Penutupan Napak Tilas
Setelah ke-7 lokasi dikunjungi, rombongan pun kembali ke kota Solo untuk bermalam, dan melakukan kilas balik Napak Tilas. Kami mendapatkan tempat yang pak K yang merupakan pemilik dari tempat makan Pondok Jowi. Beralaskan tikar, kami semua membahas kajian teknis dan spiritual dari Napak Tilas ini. Besok paginya tanggal 24 Sept 2017, rombongan akan terpisah menjadi dua rombongan lagi, satu ke Barat (Jakarta), dan satu ke timur. Rombongan yang ke timur memutuskan untuk menambah setengah hari berjalan keliling kota Solo sekali lagi dan saya memutuskan untuk ikut dengan rombongan ini.
8. Pura Mandira Seta dan Kraton Kasunanan Solo (Ekstra)
Berangkat pada pagi hari dengan tujuan ke Keraton Solo, rombongan kami tampaknya tiba terlalu pagi didepan keraton, dan harus menunggu selama 1 jam sebelum keraton dibuka untuk umum. Namun, tepat di depan keraton, pak SA melihat ada sebuah pura yang gerbangnya juga tertutup, dan ternyata kami berjodoh untuk diperkenankan masuk dan berbincang-bincang dengan pemangku (mangku) pura tersebut.
Bangunan ini adalah tempat ibadah Hindu (Pura) yang bernama Pura Mandira Seta. Dan menurut sejarah, ada sebuah nama fenomenal dibalik keberadaan Pura Mandira Seta ini yaitu almarhum R.W. Harjanta Prajapangarsa. Dikisahkan tokoh agama Hindu Jawa Tengah di era tahun 1960 an ini memeluk agama Hindu setelah melalui tapabrata, yoga dan samadinya di sebuah delta sungai Bengawan Solo yang dijalaninya selama 20 tahun.
Tidak banyak ulasan yang beredar tentang pura ini, namun ada sesuatu yang sangat membuat unik dan berbeda. Saat duduk di tengah pura menghadap timur, pemangku menjelaskan bahwa tepat didepan arah Timur adalah tempat penghormatan untuk ‘elemen ayah’ yang dilambangkan dengan Gunung Lawu (Bumi) dan sosok “Hyang Ismaya”, dan tepat di sebelah kanan yang adalah arah selatan ada tempat penghormatan untuk ‘elemen ibu’ yang dilambangkan dengan Samudra Hindia (Air) dan sosok “Kanjeng Ratu”.
Tunggu dulu.. Pura Hindu.. dan Kanjeng Ratu.. ?! Bagaimana kedua elemen tersebut bisa menyatu didalam bangunan ini ? Saya juga baru tahu tentang nilai luhur ‘elemen ayah’ dan ‘elemen ibu’ dalam nilai kearifan leluhur kita. Sungguh luar biasa kearifan dan filosofi para leluhur yang dimiliki dan itu tertuang dalam bangunan suci ini. Belum selesai kekaguman saya, pemangku mengajak kami untuk melihat ke tempat penghormatan yang berada di Timur, yang ditandai dengan adanya gapura kecil. Memasuki gapura ini, kembali saya terbengong-bengong dan takjub, bahwa dihadapan saya saat ini ada arca-arca dewa-dewi hindu dan patung berwarna-warni dalam kaca yang saya kenali sebagai dewa-dewi (roh suci) yang diyakini dalam keyakinan KongHuCu !! dan semuanya tersusun dengan indah dalam bentuk melingkar 360 derajat.. Sungguh saya tidak habis pikir kali ini, Kanjeng Ratu… KongHuCu… semua dalam 1 bangunan hindu ! How in the world.. ?! ….
Sambil dengan masih dipenuhi kekaguman.. kami memasuki ke bagian terdalam di arah Timur. Kami menjumpai 3 arca suci yang melambangkan “Batara Shiva”, “Bathara Ismoyo”, dan “Batara Wishnu”, dan terdapat tulisan di dinding bertuliskan “Mantra Buddha”.. buddha.. buddhism.. juga ada disini.. ?! Sungguh luar biasa.. hati saya kembali dipenuhi dengan kekaguman dan rasa penghormatan yang besar sekali..
Pemangku memandu kami apabila ingin sembayang, dan kami pun menghaturkan penghormatan kami. Sesaat setelah hening dan masih dalam suasana doa yang khidmat, pemangku mengucapkan banyak nama-nama secara berturut-turut yang saya kenali sebagai para roh suci dan “ spiritually enlightened beings ”, membawa pikiran dan hati saya melayang dalam perjalanan pribadi bertahun-tahun silam..
Selepas dari arah Timur, panduan pemangku dilanjutkan dengan ke ruangan singasana di arah Selatan, tempat penghormatan khusus untuk Kanjeng Ratu. Yang saya rasakan sejak memasuki ruangan suci ini, menghaturkan penghormatan, dan keluar dari ruangan ini adalah jantung yang berdegup-degup, sangat terasa energi yang luar biasa berbeda dan tinggi, baru kali ini saya rasakan. Berbeda dengan saya, rekan seperjalanan saya yaitu ibu AG merasakan pening yang tiba-tiba dan ‘perasaan berat’, namun kami sepakat bahwa energi di ruangan kecil tersebut memang sangat berbeda.
Di pura ini pun kami bertemu dengan seorang bapak Jawa dan anaknya. Bapak ini menceritakan bahwa anaknya tiba-tiba pagi hari ini mendadak ingin ke Pura Mandira Seta, dan walaupun telah ditolak secara halus namun sang anak terus ingin pergi ke pura ini. Seolah pertemuan ini telah diatur, bertemulah kami dengan bapak Jawa ini, dan beliau menceritakan bahwa anaknya yang belum juga genap 10 tahun telah sangat tertarik pada dunia spiritual sejak SD, ditandai setiap harinya membaca buku-buku suci dan banyak sekali pertanyaan seputar spiritualitas. Sungguh luar biasa, saya telah mendengar kisah ini terjadi di India, namun tidak pernah mendengar atau melihatnya sendiri di tanah Nusantara. Di pura kecil dan sepi ini, banyak terjadi permenungan yang terjadi dalam diri saya.
Di kunjungan terakhir, kami berkunjung ke kekeratonan Solo yang tepat berada di depan Pura Mandira Seta. Keraton ini bernama lengkap Keraton Surakarta Hadiningrat, dan adalah istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Di dalamnya ada berbagai benda keraton dan foto sejarah keluarga keraton. Serupa dengan Pura Mangkunegaraan, kunjungan kali ini lebih ke arah kunjungan sejarah, dan disini saya bisa melihat sejarah nusantara ini sebelum negara republik Indonesia berdiri.
Keraton ini adalah kunjungan terakhir dalam rangkaian Napak Tilas 2017. Rombongan pun satu per satu berpisah, dan dalam perjalanan kami ke airport ditandai dengan turunnya hujan di kota Solo yang sudah berminggu-minggu terik dan tidak pernah turun hujan sama sekali.. good atmosphere as a closing.. !
* Latihan Meditasi di Rumah Bahagia (Aliran Energi dan Akashic Records)
Sesi latihan ini merupakan sesi pribadi, diluar dari rangkaian acara Napak Tilas. Saat malam terakhir di Rumah Bahagia, Jogja. Saya berkali-kali meminta pak SA untuk mengajari saya tentang lukisan meditasi cina yang sangat menarik. Pak SA merupakan keturunan dari Hamengku Buwono III, dan setelah lama bekerja dikantor, panggilan hatinya menuntun dia kembali pada keilmuan ilahi, sesuai dengan yang digariskan, dan saat belajar dengan mahagurunya tentang ilmu Qigong, pak SA juga belajar tentang lukisan meditasi cina ini. Nama lukisan ini adalah “Gambar Rahasia Nei Jing Tu” atau disebut juga “Yau Shou Xian Tu” (Lukisan Dewa Memperpanjang Umur). Gambarnya adalah sebagai berikut
Selain saya, ada 2 rekan lagi yang tertarik ikut berlatih, sehingga dengan saya dan pak SA menjadi 4 orang yang berlatih meditasi tengah malam. Di dalam ruangan, pak SA menjelaskan bahwa lukisan tersebut adalah metafora dari rahasia energi dalam tubuh manusia yang ditemukan oleh bangsa Cina ratusan atau ribuan tahun lampau di sebuah goa di Cina. Dilihat dari samping tubuh manusia, posisi-posisi titik lukisan tersebut banyak yang bertepatan dengan posisi Cakra dalam tubuh manusia. Beliau melanjutkan bahwa kali ini hanya akan menjelaskan tentang basic atau dasar penjelasannya saja. Posisi dimulai dengan sikap duduk, dan perhatian terfokus pada nafas keluar, dikarenakan hidup manusia esensinya ada pada nafas keluar, yaitu saat terakhir kali menghembuskan nafas sebelum meninggal, dan hembusan nafas sadar pertama kali saat lahir ke dunia.
Pada lukisan tersebut di dekat titik leher, terdapat gambar manusia sedang mengangkat kedua tangannya, ini adalah ilustrasi dari posisi duduk bermeditasi dimana lidah disambungkan ke langit-langit dalam mulut, seolah menjadi penopang langit-langit mulut. Posisi lidah ini bertujuan merangsang air liur dalam mulut, yang kemudian dalam jumlah yang semakin banyak dialirkan ke dalam tubuh manusia, dan turun kebawah ke bagian perut. Menurut penjelasan beliau, dalam air liur manusia mengandung enzim yang berfungsi untuk menghasilkan energi dalam tubuh manusia. Produksi air liur ini kemudian kita telan, dan kita visualisasikan turun ke dalam tubuh di sekitar titik Cakra Pusat / Solar Plexus, disinilah energi tersebut diolah dalam tubuh dan dalam lukisan tersebut dimetaforakan sebagai “kerbau dan pembajak sawah”. Saat memvisualisasikan aliran energi dari tenggorokan ke solar plexus, kita memvisualisasikan aliran tersebut sebagai air terjun yang jatuh dari atas tenggorokan, dan bermuara ke kolam yang jernih di perut sekitar Solar Plexus, dan aliran ini semakin jernih, dan semakin deras.
Perhatian pada nafas keluar yang disertai dengan visualisasi air terjun dalam tubuh ini saya coba lakukan saat bermeditasi, dan perlahan timbul aliran energi yang mengaduk-aduk dalam perut, seakan-akan seperti air yang berputar dan mengembang. Hal ini dijelaskan oleh pak SA sebagai tanda bahwa energi telah terbentuk dalam tubuh, dan siap dialirkan ke jalur energi tubuh. Ketika energi yang dirasakan sudah cukup besar, beliau melanjutkan instruksi dengan menvisualisasikan aliran energi ini dikirim turun ke dasar tubuh, yaitu bagian sekitar tulang ekor dan anus, dilambangkan dengan titik Cakra Dasar, dan dibantu dengan kontraksi pada otot anus, aliran energi ini didorong ke atas sekujur tulang belakang yang penuh dengan syaraf-syaraf, terus naik ke atas hingga ke leher, dan naik ke titik tertinggi tubuh manusia, ubun-ubun, dilambangkan dengan titik Cakra Mahkota. Saat memvisualisasikan aliran energi ini, dari perut, turun ke bawah, naik ke puncak, saya rasakan aliran tersebut dalam tubuh merambat naik seiring tulang punggung, dan bermuara di titik ubun-ubun sebagai luapan energi. Beliau menjelaskan bahwa aliran energi naik ke atas ini berfungsi untuk membuka sumbatan-sumbatan jalur energi dalam tubuh manusia.
Kemudian, dari titik puncak, aliran energi ini kita visualisasikan turun ke titik tengah kepala, tepat di antara otak kiri dan otak kanan dan ketinggian dahi, di titik yang dilambangkan dengan titik Cakra Mata Ketiga. Aliran energi ini saya rasakan berputar-putar memenuhi dalam kepala, dan terpusat di dalam kepala bagian tengah. Aliran ini kemudian diputar kembali turun ke tenggorokan, kemudian ke perut, kemudian ke titik dasar, kemudian naik ke titik puncak, kemudian turun ke tengah kepala, kemudian ke tenggorokan, membentuk suatu siklus energi yang berputar dalam tubuh manusia yang bisa dirasakan dalam tubuh.
Beberapa menit setelah saya menikmati aliran energi ini dengan mata terpejam, beliau memandu kami untuk kembali menyadari tubuh fisik dan menghentikan meditasi secara perlahan-lahan. Setelah selesai bermeditasi, saya rasakan sekujur tubuh saya hangat, dan berkeringat hingga ke tangan, hal ini persis terjadi ketika saya dulu belajar olahraga pernafasan prana dan hanya duduk diam saja tetapi berkeringat. Peserta lainnya merasakan kepala seolah tebal dan diselimuti dengan helm. Beliau menjelaskan bahwa itu adalah tanda-tanda energi mengalir pada tubuh dan manifestasinya berbeda-beda dalam diri manusia, namun itu hanya sebagai tanda saja dan perhatian tidak boleh diarahkan untuk menikmati atau mencari tanda-tanda tersebut. Dalam lukisan tersebut energi dalam perut ini ditandai dengan 4 simbol ying-yang sebagai elemen penghasil energi dalam tubuh manusia, yaitu oksigen, nutrisi, pikiran, dan enzim air liur. Titik visual lainnya dalam lukisan tersebut belum dijelaskan lebih lanjut, karena malam hari tersebut hanya dijabarkan mengenai latihan energi dasar. Sungguh menarik dan mungkin apabila sudah latihan dengan baik, dipertemuan berikutnya baru dijelaskan kembali oleh beliau.
Selesai latihan meditasi dengan pak SA, beliau undur diri untuk beristirahat. Saya kemudian melanjutkan ke sesi berikutnya dengan seorang anak muda 25 tahun, yang sungguh mengingatkan saya akan diri sendiri di usia tersebut. Saya minta diajari sesi tutorial untuk mengakses bawah sadar atau sub-consciousness secara mandiri, yang kata dia bisa digunakan untuk melihat ke kehidupan lampau, yaitu ke dalam kitab kehidupan “catatan akashic”. Hal ini sangat menarik bagi saya karena ini adalah ranah praktek dimana jauh sebelumnya saya telah mengetahui tentang penjelasan singkat mengenai hal ini, namun tidak tahu darimana memulainya dan bagaimana memulainya. Kami duduk berhadap-hadapan, dan saya mengikuti instruksinya untuk pelan-pelan merilekskan seluruh tubuh dan larut dalam kesadaran bawah sadar. Seiring instruksinya untuk mengamati tubuh demi tubuh, dari yang kecil hingga yang besar, dan mulai mengamati ruang visual di luar tubuh dari ruangan tempat kami duduk, hingga rumah ini, hingga kota jogja, hingga negara ini, hingga bumi ini, hingga tata surya, hingga galaksi, hingga alam semesta ini, pikiran saya mulai larut antara ada dan tiada, drifting consciousness.. Saat intruksi selanjutnya disampaikan, saya bisa melihat ada gambar visual namun samar-samar dan terputus-putus, sebagai rangkaian visual seperti satu video kehidupan.. Namun dititik ini saya sadar bahwa saya belum sepenuhnya larut dan pasrah, bahwa saya mencoba untuk larut dan pasrah tetapi masih seakan sisi pikiran sadar / logis saya masih mencoba menarik saya untuk tidak larut, sehingga menyebabkan rangkaian visual yang seperti video itu samar-samar, terputus-putus, dan terhenti.. Disinilah saya baru memahami banyak hal dalam diri saya, dan latihan sebelumnya yang tidak saya pahami. Latihan-latihan visualisasi sebelumnya untuk membayangkan dengan jelas dengan mata terpejam adalah melatih sensitifitas untuk melihat visual sub-consciousness ini dengan lancar, dan pikiran saya bertahun-tahun yang telah terlibat jauh dalam urusan duniawi dengan segala mekanisme mekanis nya telah membuat sisi logis dan mental mind saya menjadi jangkar yang terlalu kuat untuk menghambat saya larut sepenuhnya dalam sub-consciousness..
Kami mengakhiri sesi meditasi ini dan saya pun mendapatkan kesadaran baru tentang diri saya sendiri. Telah banyak hal duniawi yang terjadi selama 5 tahun terakhir ini sejak saya terjun ke dunia wirausaha, dan sisi ekspresif kreatif yang penuh perasaan tersebut cukup terkikis dan tidak tersalurkan dengan baik. Hal ini menimbulkan kesadaran dalam diri saya untuk kembali menekuni sisi kreatif tersebut yang diliputi penuh perasaan, untuk kembali memegang kamera dan menjadi seorang pelaku fotografer setelah vakum 5 tahun, dan untuk kembali menikmati alunan musik dengan segenap vibrasi dan perasaannya..
Melihat mas Z ini juga membuat pikiran saya larut dalam masa lalu, ke usia 25-26 tahun saat saya menyelam ke “dalam”.. saya sempat bilang bahwa pengetahuan dia (mas Z) ini lebih baik dibandingkan saya dahulu, yang diresponnya dengan kalimat “setiap orang memiliki peran uniknya masing-masing”. Jawaban yang tepat, dan ditambah dengan praktek tersebut telah mengajari saya untuk lebih mengenal dimana aspek “kekurangan diri” yang bisa saya tingkatkan lebih lanjut, dan juga dimana “kelebihan diri” saya yang akan menjadi unik dan peran saya tersendiri dalam semesta ini.. Apabila dia sebagai anak muda menapaki jalur sebagai pelaku spiritual murni, penuh dengan kitab-kitab dengan aksara-aksara sanskrit tibet, maka dengan kelebihan cara berpikir yang fundamental dan berbasis mekanisme, saya berperan sebagai sebagai jembatan penghubung antara dunia spiritual yang sulit dijelaskan dengan dunia manusiawi yang menuntut penjelasan dan penerapan dari dunia spiritual yang mengawang-awang itu.. sama seperti kelebihan saya di dunia fotografi yang secara detil dan mendalam merupakan perpaduan antara sisi mekanis (pikiran) dan perasaan (hati)..
Setelah saya menyampaikan terima kasih saya kepada anak muda ini, dia menjawab saya dengan berkata “aku juga belajar banyak tentang menjadi manusia bumi dari kamu, Kang.” Oalaahhh, “menjadi manusia bumi”.. !! never thought I would hear that from another man, especially a younger one.. jawaban yang merupakan dua “pukulan refleksi” sekaligus, bahwa tanpa sadar saat ini saya telah larut menjadi manusia bumi, dan bahwa saya telah tambah usia sembari berhenti dalam “penyelaman ke dalam diri”.. oke tak apa, saya berterima kasih atas kesempatan refleksi ini..
Ada cerita cukup menarik juga dengan mas Z ini. Sebelum berkunjung ke astana-astana (mangadeg dan giri bangun), saya sempat memberikan kartu nama saya pada anak muda ini, dan dia menyimpannya dalam saku depan di kemejanya (dekat dada), beserta dengan “kartu dewa rezeki Tibet” yang tidak saya ketahui detilnya. Malam hari setelah selesai dari perjalanan ke astana-astana, dia kaget mendapati saku depan nya mengapa jadi panas sekali padahal tidak ada handphone atau battery didalam saku tersebut, dan dia bilang bahwa panas tersebut berasal dari kartu nama saya yang ditempelkan dengan “dewa rezeki”. Saya tidak menganggap ucapan tersebut terlalu serius, tapi saat dia coba berikan kembali kartu nama saya, memang betul rasanya panas hangat, dan membuat saya cukup bingung. Dia menjelaskan bahwa itu adalah simbol bahwa ada berkah yang diberikan oleh “dewa rezeki” kepada saya. Baiklah, saya tidak terlalu menanggapi secara serius, namun penjelasan tersebut cukup menarik dan kalau memang membawa kebaikan, kenapa tidak, hehe..
Kesimpulan akhir Napak Tilas ~ Di Napak Tilas ini saya belajar banyak tentang kebesaran pribadi leluhur nusantara ini, bahwa mereka tidak sekedar menjadi orang besar dijamannya tanpa kualitas ke dalam yang tinggi dan hanya label raja belaka, namun mereka begitu menempa diri dan menjadi orang yang betul-betul “besar di dalam” dan “besar di luar”. Juga ada ajaran luhur yang begitu fundamental tentang rahasia kehidupan dan alam semesta yang telah diketahui serta dilakoni oleh para leluhur, namun tidak diketahui secara umum pada generasi muda saat ini. Saya merasa terhormat untuk bisa belajar mengenal langsung para leluhur ini, dan kesempatan mengenal sejarah nusantara serta bangunan-bangunan kuno bersejarah yang tidak begitu diperhatikan oleh warga negara RI terutama di kota-kota besar yang sudah penuh dengan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Ada gambaran besar dalam benak saya mengenai keseluruhan negeri nusantara ini dibangun sejak berabad-abad tahun silam. Juga ada perasaan bahwa ini adalah suatu proses yang memang harus saya lalui, dan hal ini menjadi suatu landasan yang penting dalam proses kehidupan saya kedepannya, ke beberapa dekade mendatang berikutnya. Dari sisi pribadi, saya banyak tersentuh, mendapatkan banyak nasihat, banyak pemahamaan intuitif dan melakukan refleksi diri secara mendalam yang tidak saya sangka-sangka. Perjalanan ini cukup singkat hanya satu minggu, namun saya seolah melakukan perjalanan ke dalam atau “inner journey” yang cukup panjang.
Semoga semua ini membawa kebaikan kepada diri saya sendiri, sehingga saya pun lebih mengenal diri sendiri, mampu mengemban tanggung jawab yang lebih besar lagi dimasa yang akan datang, dan membawa kebaikan yang lebih besar terhadap sesama.
“Whosoever knows himself knows his Creator”
Napak Tilas 2017, Jawa Tengah Sept 2017
Handoko Luo
You must be logged in to post a comment.